SISI GELAP PERKAWINAN TIMUR- BARAT
JAKARTA, (Tubas) – Cara Eropa atau Barat memandang Asia Tenggara, khususnya Indonesia, belum berubah dari zaman dulu. Perancis, misalnya, masih memegang citra bahwa orang Indonesia itu orang hutan. Belum berkembang. Pada sisi lain, kita belum mampu keluar dari perangkap rasa inferior terhadap bangsa asing terutama Eropa.
Hal itu disampaikan budayawan Radhar Panca Dahana dalam acara bedah buku berjudul Sisi Gelap Perkawinan Timur Barat terbitan PT Pustaka Sinar Harapan, di Gedung Sinar Kasih, Jalan Dewi Sartika, Cawang Jakarta Timur, Selasa (16/8). Bedah buku karangan Yuyu A N Krisna Mandagie itu, dihadiri kalangan wartawan senior, penulis serta budayawan, antara lain Gerson Poyk.
“Saya pernah berhenti di tengah jalan dari beasiswa Perancis, karena saya merasa dianggap di bawah mereka. Dan mereka tidak menghargai kita,” katanya. Buku setebal 140 halaman itu adalah kumpulan laporan hasil investigasi wartawan senior seperti Yuyu AN Krisna yang mulai menjadi wartawan di Hariam Umum Sinar Harapan sejak tahun 1960-an. Setelah 40 tahun menjadi wartawan, ia masih tetap berkarya di bidang jurnalistik.
Buku ini merupakan salah satu hasil investigasinya di Negeri Kincir Angin, Belanda. Sejak 1986 sampai saat ini, Yuyu sekeluarga pindah ke Belanda, karena sang suami, Asbari N Krisna bekerja pada seksi Indonesia, Radio Nederland Wereldomroep di Hilversum.
Selama tinggal di Belanda hatinya tergugah menyaksikan perempuan Indonesia kurang beruntung yang menikah dengan pria Belanda. Tidak kurang dari 30 perempuan Indonesia yang dengan jujur mengungkap penderitaan mereka dalam perkawinan. Tadinya dengan perkawinan itu, mereka berharap memperoleh peningkatan taraf hidup, tapi ternyata penderitaan yang mereka dapat.
Kisah-kisah dalam buku ini membawa pembacanya masuk ke relung kehidupan yang menyedihkan perempuan-perempuan Indonesia itu. Ada yang diperlakukan sebagai pembantu, ada pula yang terpaksa dijerat utang suami yang kabur karena ikut menandatangani surat pinjaman. Bahkan, ada perempuan Indonesia yang dibunuh dan mayatnya dipotong-potong. Ini merupakan sebagian dari 20 episode buku ini.
Sementari itu, psikolog Tika Wibisono berkomentar, mungkin karena bule-bule itu ganteng, tinggi besar, maka perempuan Indonesia langsung kagum. “Tapi ternyata lain dari harapan dan gambaran fisik,” katanya. Banyak faktor yang juga berpengaruh dalam perkawinan campuran Timur Barat, khususnya Indonesia-Belanda.
Kurang harmonisnya perkawinan suami Belanda dan istri Indonesia, antara lain disebabkan masih melekatnya kaitan historis Indonesia Belanda dimana pria Belanda masih menganggap diri “toean besar” karena pernah menjajah Indonesia. Perempuan Indonesia dianggap seperti “nyai” toean keboen di zaman penjajahan. Hal itu yang juga sebenarnya dimaksudkan Radhar Panca Dahana, ada sikap arogan pria Belanda, dan ada sikap mental “terjajah” perempuan Indonesia.
Selain itu, memang terdapat perbedaan besar antara Belanda dan Indonesia. Seperti budaya, pola pikir, iklim dan latar belakang. Hal itu memerlukan proses yang lama, padahal perkawinan yang dibeberkan dalam buku ini, rata-rata kurang proses pengenalan yang baik. Tambahan lagi, pemerintah di masing-masing negara tidak memberi penerangan dengan baik, perbedaan-perbedaan itu. ***
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment